Kamis, 29 Januari 2009

Pesta Lomban Jepara

INTEGRASI STRUKTURAL
UPACARA RITUAL LOMBAN DI JEPARA

Integrasi Struktural
Secara etimologi, integrasi berasal dari kata latin integrare yang artinya memberi tempat bagi suatu unsur demi suatu keseluruhan. Kata benda Integritas artinya keutuhan atau kebulatan. Kata sifat integer artinya utuh . Menurut Hendropuspito istilah integrasi berarti membuat unsur-unsur tertentu menjadi
Masing-masing unsur tertentu dari kebudayaan daerah yang ada di Indonesia menjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh . Manusia dalam kehidupannya tidak bisa lepas dari lingkungan baik alam maupun sosial. Antara manusia dan lingkungan terjadi hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi sehingga melahirkan keseimbangan yang berakhir pada pembelajaran dan pengalaman tentang lingkungannya. Keadaan alam merupakan faktor terpenting dalam menentukan kebudayaan manusia. Suatu masyarakat tidak mungkin dapat hidup tanpa pengetahuan tentang alam sekitarnya; flora fauna di daerah tempat tinggalnya; zat-zat; bahan mentah; dan benda-benda dalam lingkungannya . Begitu pula dengan masyarakat di Pantai Utara Jawa Tengah khususnya Jepara.
Selanjutnya Strukturalisme adalah teori yang menyatakan bahwa seluruh organisasi manusia ditentukan secara luas oleh struktur sosial atau psikologi yang mempunyai logika independen yang menarik, berkaitan dengan maksud, keinginan, maupun tujuan manusia. Bagi Freud, strukturnya adalah psyche; bagi Marx, strukturnya adalah ekonomi; dan bagi Saussure, strukturnya adalah bahasa. Kesemuanya mendahului subyek manusia individual atau human agent dan menentukan apa yang akan dilakukan manusia pada semua keadaan1 .
Strukturalisme terutama berkembang sejak Claude Levy-Strauss Hubungan antara bahasa dan mitos menempati posisi sentral dalam pandangan Lévi-Strauss tentang pikiran primitif yang menampakkan dirinya dalam struktur-struktur mitosnya, sebanyak struktur bahasanya. Mitos biasanya dianggap sebagai ‘impian’ kolektif, basis ritual, atau semacam ‘permainan’ estetika semata, dan figur-figur mitologisnya sendiri dipikirkan hanya sebagai wujud abstraksi, atau para pahlawan yang disakralkan, atau dewa yang turun ke bumi sehingga mereduksi mitologi sampai pada taraf semata sebagai ‘mainan anak-anak’, serta menolak adanya relasi apapun dengan dunia dan pranata-pranata masyarakat yang menciptakannya.
Nama Jepara berasal dari kata ‘ujung’ dan ‘para’. Kata Para adalah kependekan dari ‘pepara’ yang berarti bebakulan mrana-mrana, yaitu berdagang kesana-kemari. Sementara itu Lekkerkerker menyebut Jepara dengan haventjes der klein handelaars artinya pelabuhan para pedagang kecil. Panitia Penyusunan Hari Jadi Jepara mengatakan bahwa pada umumnya kota-kota yang terletak di tepi pantai biasanya menggunakan kata ‘ujung’ seperti ‘Ujung Sawat’, ‘Ujung Gat’, ‘Ujung Kalirang’, ‘Ujung Jati’, ‘Ujung Lumajang’, dan ‘Ujung Blidang’ sehingga kata Jepara berasal dari kata ujung para, ujungmara atau jumpara.
Jepara yang terletak di Pesisir pantai utara pulau Jawa mayoritas masyarakatnya berpencaharian sebagai nelayan selain sebagai pengrajin seni ukir (mebel). Sebagai masyarakat yang berada di pesisir pantai mereka memiliki kearifan khusus dalam kaitannya dengan kehidupan di lingkungan sekitarnya. Mengenai hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya ada kebudayaan-kebudayan yang memandang alam itu sebagai suatu hal yang sangat dahsyat sehingga manusia itu pada hakekatnya hanya bisa menyerah saja tanpa ada banyak yang bisa diusahakannya. Sebaliknya ada pula kebudayaan yang memandang alam itu sebagai suatu hal yang bisa dilawan oleh manusia dan mewajibkan manusia untuk selalu berusaha menaklukkan alam, disamping itu ada pula kebudayaan yang menganggap bahwa manusia itu hanya bisa berusaha mencari keselarasan dengan alam . Sehingga manusia bebas berinteraksi dan mengolah alam.
Kepercayaan dan Kegiatan Ritual Nelayan
Masyarakat nelayan di Jepara percaya bahwa kehidupan di muka bumi ini diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan mereka juga percaya bahwa hidup itu ada yang menghidupkan dan ada yang menghidupi. Kepercayaan tersebut menjadi dasar kendali dalam menjalani kehidupan sehari-hari yang diungkapkan dalam bentuk kepercayaan tentang sesuatu, adat, nilai, dan upacara-upacara serta perayaan tertentu.
Selain percaya pada Tuhan Yang Maha Esa masyarakat nelayan juga percaya kalau disekitar tempat tinggal mereka terdapat makhluk halus atau makhluk penunggu atau ‘sing mbaurekso’ yang sewaktu-waktu dapat mengganggu kehidupan manusia misalnya mengganggu ketentraman, mendatangkan bencana, namun sebaliknya bisa juga memberikan ketenangan, perlindungan dan keselamatan dalam kehidupan manusia. Oleh sebab itu para nelayan berusaha tidak mengganggu segala sesuatu yang bisa membangkitkan kekuatan jahat ‘sing mbaurekso’ dan berusaha menjalin hubungan harmonis agar berpenngaruh terhadap kebaikan.
Masyarakat nelayan juga percaya bahwa keberadaan dirinya merupakan bagian dari sebuah kosmos yang besar. Mereka percaya akan adanya kekuatan-kekuatan alam yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia. Mereka mengenal tanda-tanda alam baik yang berupa tanda-tanda kebaikan maupun tanda-tanda keburukan. Tanda-tanda alam yang dikenal dalam kehidupan nelayan antara lain:
- Jika di langit ada tanda kehitam-hitaman (mendung tebal) yang datang dari arah barat serta ada guruh yang menggelegar atau kilat yang menyambar maka itu sebagai pertanda akan datang gelombang yang besar atau badai yang dahsyat. Sehingga tidak seorang nelayan pun yang berani melaut, bahkan yang sudah terlanjur di tengah laut supaya cepat-cepat menepi. Keadaan seperti ini menyadarkan manusia khususnya para nelayan bahwa pada saat-saat tertentu alam memiliki kekuatan yang tidak bisa dilawan oleh manusia.
- Jika di langit ada tanda-tanda seolah-olah langit bersisik, itu sebagai tanda bahwa di laut sedang banyak ikan.
Kepercayaan nelayan yang lain yang berhubungan dengan perilaku manusia yaitu berupa pantangan-pantangan yang tidak boleh dilakukan pada saat melaut, misalnya:
- Apabila akan melaut, jika tidurnya mengalami mimpi buruk maka harus terlebih dahulu diadakan selamatan, karena kalau tidak konon mimpi buruk tersebut akan menjadi kenyataan.
- Apabila akan melaut tidak boleh dalam keadaan marah., baik kepada keluarga maupun orang lain. Konon jika melaut dalam keadaan marah mereka akan jauh dari rezeki sehingga tidak dapat ikan tangkapan.
- Apabila sedang berada di tengah laut nelayan tidak boleh mengatakan kata-kata kotor. Konon jika hal itu dilakukan nelayan itu akan mengalami kesulitan dalam mencari rezeki dan bisa mendatangkan musibah.
- Apabila dalam melaut seorang nelayan menangkap ikan Pendong yaitu ikan yang dilarang untuk ditangkap, maka ikan tersebut harus segera dilepaskan kembali ke laut dan sepulangnya dari laut harus segera menyelenggarakan selamatan khusus agar terhindar dari malapetaka sebagai akibat tertangkapnya ikan larangan tersebut.
Dengan adanya kepercayaan-kepercayaan para nelayan tersebut maka maka para nelayan di Jepara mengadakan upacara-upacara ritual baik yang bersifat massal maupun pribadi. Dalam upacara-upacara ritual ini diadakan sesaji dan doa magis yang ditujukan pada makhluk yang mendiami alam sana (laut) , sebagai upaya agar hidup mereka diliputi suasana tenang selamat dan dijauhkan dari mara bahaya. Kegiatan upacara ritual yang berhubungan dengan masyarakat nelayan di Jepara antara lain sedekah laut, ceblok branjang, selamatan untuk perahu baru atau penurunan perahu pertama kali ke laut dan upacara kupatan.
Upacara Lomban
Pesta lomban oleh masyarakat Jepara sering pula disebut sebagai “ Bakda / Bada Lomban “ atau Bakda / Bada Kupat . Disebut “ Bakda Kupat “ karena pada saat itu masyarakat Jepara merayakannya dengan memasak kupat (ketupat) dan lepet disertai rangkaian masakan lain seperti : opor ayam, rendang daging, sambal goreng, oseng-oseng dan lain-lain.
Ketupat dalam istilah Jawanya Kupat adalah bentuk tradisional yang tidak asing lagi bagi masyarakat khususnya masyarakat Jawa Tengah. Ketupat ini terbuat dari beras yang dibungkus daun kelapa muda (janur), rasanya seperti nasi biasa. Sedangkan lepet hampir seperti ketupat tetapi terbuat dari ketan disertai parutan kelapa dan diberi garam. Lepet ini rasanya lebih gurih dan dimakan tanpa lauk. Bentuknya bulat panjang 10 cm. Kupat berati kelepatan atau kesalahan dan Lepet berarti Luput atau keliru.sehingga artinya mereka supaya dijauhkan dari kesalahan dan kekeliruan. selain hidangan khas bakda kupat dengan kupat lepetnya, masyarakat Jepara masih menyediakan aneka macam makanan kecil.
Istilah Lomban oleh sebagian masyarakat Jepara disebutkan dari kata “Lomba-lomba” yang berarti masyarakat nelayan masa itu bersenang-senang melaksanakan lomba-lomba laut yang seperti sekarang masih dilaksanakan setiap pesta Lomban, namun ada sebagian mengatakan bahwa kata-kata lomban berasal dari kata “Lelumban” atau bersenang-senang.
Pesta Lomban ini merupakan puncak acara dari Pekan Syawalan yang diselenggarakan pada tanggal 8 syawal atau 1 (satu) minggu setelah hari raya Idul Fitri. Namun di daerah kecamatan Keling pesta Lomban diadakan setelah musim panen diambil hari senin pahing karena menurut mereka senin pahing merupakan weton gedhe atau hari yang tinggi. Pemilihan hari tersebut sudah dilakukan sejak dulu yaitu mengikuti kebiasaan Mbah Sumowijioyo yang merupakan cikal bakal sesepuh daerah kecamatan Keling.
Pesta Lomban itu sendiri telah berlangsung lebih dari 1 (satu) abad yang lampau. Berita ini bersumber dari tulisan tentang Lomban yang dimuat dalam Kalawarti/Majalah berbahasa Melayu bernama “Slompret Melayu” yang terbit di Semarang pada paruh kedua abad XIX edisi tanggal 12 dan 17 Agustus 1893 yang menceritakan keadaan Lomban pada waktu itu, dan ternyata tidak berbeda dengan apa yang dilaksanakan masyarakat sekarang. Diceritakan dalam pemberitaan tersebut, bahwa pusat keramaian pada waktu itu berlangsung di teluk Jepara dan berakhir di Pulau Kelor. Pulau Kelor sekarang adalah komplek Pantai Kartini atau taman rekreasi Pantai Kartini yang dulunya masih terpisah dengan daratan di Jepara.
Karena pendangkalan dan diurug masyarakat, maka lama kelamaan antara Pulau Kelor dan daratan Jepara menyatu. Pulau Kelor (sekarang Pantai Kartini) dahulu pernah menjadi kediaman seorang Melayu bernama Encik Lanang, pulau ini dipinjamkan oleh Pemerintah Hindia Belanda kepada Encik Lanang atas jasanya dalam membantu Hindia Belanda dalam perang di Bali.
Mereka mempersiapkan “Amunisi” guna dipergunakan dalam “Perang Teluk Jepara” baik amunisi logistic berupa minuman dan makanan maupun amunisi perang berupa ketupat, lepet dan kolang kaling, guna meramaikan dibawa pula petasan sehingga suasananya ibarat perang masa sekarang Keberangkatan armada perahu ini diiringi dengan gamelan Kebogiro.
Bunyi petasan yang memekakkan telinga dan peluncuran “Peluru” kupat dan lepet dari satu perahu ke perahu yang lain. Saat “Perang Teluk” berlangsung dimeriahkan dengan gamelan Kebogiro. Seusai pertempuran para peserta Pesta Lomban bersama-sama mendarat ke Pulau Kelor untuk makan bekalnya masing-masing. Di samping makan bekalnya situasi di Pulau Kelor tersebut ramai oleh para pedagang yang juga menjual makanan dan minuman serta barang-barang kebutuhan lainnya. Selain pesta-pesta tersebut, para nelayan peserta Pesta Lomban tak lupa lebih dahulu berziarah ke makam Encik Lanang yang dimakamkan di Pulau Kelor tersebut. Sebelum sore hari Pesta Lomban berakhir penonton dan peserta pulang ke rumah masing-masing.

Gambar 01 Arak-arakan sesaji yang mau di larung di laut
Pesta Lomban masa kini dilaksanakan oleh warga masyarakat nelayan Jepara bahkan dalam perkembangannya sudah menjadi milik warga masyarakat Jepara. Malam hari sebelum acara pesta Lomban berlangsung, biasanya diadakan pagelaran wayang kulit semalam suntuk. Pesta Lomban dimulai sejak pukul 06.00 WIB dimulai dengan upacara Pelepasan Sesaji dari TPI Jobokuto. Upacara ini dipimpin oleh pemuka agama desa Jobokuto dan dihadiri oleh Bapak Bupati Jepara dan para pejabat Kabupaten lainnya. Sesaji itu berupa Kepala Kambing hitam (kendit) atau Kepala Kerbau, kaki, kulit dan jerohannya dibungkus dengan kain mori putih. Sesaji lainnya berisi sepasang Kupat dan Lepet, bubur merah putih, jajan pasar, arang-arang kambong (beras digoreng), nasi yang diatasnya ditutupi ikan, jajan pasar, ayam dekeman (ingkung), dan kembang boreh/setaman. Semua sesaji diletakkan dalam sebuah ancak yang telah disiapkan sebelumnya. Setelah dilepas dengan do’a sesaji ini di”larung” ke tengah lautan, pembawa sesaji dilakukan oleh sejumlah rombongan yang telah ditunjuk oleh pinisepuh nelayan setempat dan diikuti oleh keluarga nelayan, semua pemilik perahu, dan aparat setempat. Pelarungan sesaji ini dipimpin oleh Bupati Jepara.
Gambar 02 Bupati Jepara mengumumkan pemberangkatan ‘larung’ ke Teluk Jepara
Tradisi pelarungan kepala kerbau ini dimulai sejak Haji Sidik yang kala itu menjabat Kepala Desa Ujungbatu sekitar tahun 1920. Upacara pemberangkatan sesaji kepala kerbau yang dipimpin oleh Bapak Bupati Jepara, sebelum diangkut ke perahu sesaji diberi do’a oleh pemuka agama dan kemudian diangkat oleh para nelayan ke perahu pengangkut diiringi Bupati Jepara bersama dengan rombongan. Sementara sesaji dilarung ke tengah lautan, para peserta pesta lomban menuju ke “Teluk Jepara” untuk bersiap melakukan Perang Laut dengan amunisi beragam macam ketupat dan lepet tersebut.
Gambar 03 ‘Perang Teluk’
Di tengah laut setelah sesaji dilepas, beberapa perahu nelayan berebut mendapatkan air dari sesaji itu yang kemudian disiramkan ke kapal mereka dengan keyakinan kapal tersebut akan mendapatkan banyak berkah dalam mencari ikan. Ketika berebut sesaji ini juga dimeriahkan dengan tradisi perang ketupat dimana antar perahu yang berebut saling melempar dengan menggunakan ketupat. Selanjutnya dengan disaksikan ribuan pengunjung Pesta Lomban acara “Perang Teluk” berlangsung ribuan kupat, lepet, kolang kaling, telur-telur busuk berhamburan mengenai sasaran dari perahu ke perahu yang lain. “Perang Teluk” usai setelah Bupati Jepara beserta rombongan merapat ke Pantai Kartini dan mendarat di dermaga guna beristirahat dan makan bekal yang telah dibawa dari rumah. Di sini para peserta pesta Lomban dihibur dengan tarian tradisional Gambyong dan Langen Beken dan lain sebagainya.
Maksud dari upacara pelarungan ini adalah sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada Allah SWT, yang melimpahkan rezeki dan keselamatan kepada warga masyarakat nelayan selama setahun dan berharap pula berkah dan hidayahNya untuk masa depan. Selain itu pelarungan ditujukan sebagai salah satu bentuk rasa hormat kepada Yang Maha Penguasa ‘sing mbaurekso’ sebagai ruh para leluhur yang mereka percaya dapat menjaga dan melindunginya dari segala ancaman marabahaya dan mala petaka.
Tradisi upacara yang masih bertahan dapat memberi gambaran bahwa masyarakat nelayan masih memegang teguh adat istiadat yang diwarisi secara turun-temurun. Kepercayaan terhadap leluhur, roh halus merupakan manifestasi keteguhan hati yang masih mengakar pada diri nelayan Jepara dalam hal nguri-uri kebudayaan leluhurnya.

Bagan Integrasi Struktural
Dari bagan diatas dapat dilihat bahwa didalam ruang lingkup terbesar sebuah kabupaten dirinci mata pencaharian penduduk salah satunya yaitu nelayan. Didalam kegiatan nelayan ada kepercayaan terhadap roh nenek moyang sehingga ada upacara penghormatan salah satunya yaitu Upacara Lomban. Di dalam rangkaian upacara titik puncak atau utama dari upacara ini adalah larungan. Upacara larungan itu bahan utama yang dilarung yaitu sesaji. Sehingga integrasi struktural yang digambarkan pada bagan diatas sesuai, runtut dan sistematis.
Ada dua fungsi upacara yang dilakukan oleh masyarakat nelayan yaitu fungsi sosial dan fungsi spiritual. Fungsi spiritual karena dalam pelaksanaannya selalu dikaitkan dengan adanya upaya manusia (nelayan) untuk memohon keselamatan kepada Tuhan dan para leluhurnya. Dengan kata lain upacara mampu membangkitkan emosi keagamaan, menimbulkan rasa aman dan tentram. Sedangkan fungsi sosial dapat dijadikan sebagai sarana pengendalian sosial dalam komunikasi antara nelayan dan masyarakat yang pada akhirnya akan mewujudkan kebersamaan, gotong-royong, persatuan dan keagamaan.








Daftar Pustaka
Ahimsa-Putra, Heddy Sri, Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan karya sastra, Yogyakarta, Galang Press Hassan, 2001

Fuad, Renungan Budaya, Jakarta, Balai Pustaka, 1992

Haviland, William A. Antropologi 1, Terj. R.G. Soekadijo, Jakarta, Erlangga, 1999

Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta, PT. Gramedia, 1974

______,Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta, Aksara Baru, 1981

Sobur, Alex, Analisis Teks Media ? Suatu pengantar untuk analisis wacana, analisis semiotik, analisis framing; Bandung, PT Remaja Rosdakarya,2001

Tim Peneliti, Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Nelayan Jepara Jawa Tengah, Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2005

Widjojo, Muridan S. Strukturalisme Konstruktivis-Pierre Bourdieu dan Kajian Sosial Budaya; dalam Perancis dan Kita: Strukturalisme, Sejarah, Politik, Film, dan Bahasa, Jakarta, WWS, 2003













INTEGRASI STRUKTURAL
UPACARA RITUAL LOMBAN DI JEPARA











Oleh: Nova Kristiana Pengkajian Seni Diskomvis

Tidak ada komentar: