Kamis, 29 Januari 2009

MApping Theori Antropologi

MAPPING THEORY ANTROPOLOGI

Antropologi sosial dan antropologi budaya bertumpu dan berpedoman kepada masyarakat secara menyeluruh. Oleh karena itu antropologi mencoba menguraikan hubungan antara berbagai aspek kemasyarakatan dan kemanusiaan sebagai wujud makhluk sosial. Walaupun dikalangan antropologis terdapat minat yang bermacam-macam tetapi semua antropologis mempunyai kecenderungan yang sama, yaitu keinginan untuk memahami hubungan manusia dalam masyarakat.

Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, muncul Tokoh-tokoh dari Inggris seperti Edward Tylor, James Frazer dan W. H. R. Rivers. Mereka orang awal yang memperkenalkan antropologi sosial modern. Tylor telah menulis tentang berbagai macam masalah, tetapi yang terpenting ialah teori tentang ‘budaya’ yang diartikan oleh Tylor pada tahun 1871. Karena teorinya itu maka Tylor terus diingat dalam sejarah perkembangan antropologi. Teori itu berbunyi: "Budaya dalam arti kata etnografis yang luas, ialah gagasan keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, tata susila, adat, dan tingkah laku yang dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat’. Sehingga teori awal yang dibuat oleh Tylor terhadap ‘budaya’ masih dianggap penting oleh kalangan antropologis.

Masalah ini akan menjadi lebih jelas lagi jika melihat beberapa teori antropologi sosial dan antropologi budaya dibawah ini.

A. Teori Evolusi Kebudayaan

1. Herbert Spencer

Seorang ahli filsafat dari Inggris bernama H. Spencer memfokuskan perhatian terhadap masalah evolusi masyarakat dengan mempergunakan bahan etnografi dan etnografika dimana ruang lingkupnya yang sangat luas dan sangat sistematis dalam karya-karyanya. Karya-karya H. Spencer berdasarkan konsepsi dimana seluruh isi alam baik itu organik, non organik, dan superorganis (kebudayaan) berevolusi karena didorong oleh kekuatan mutlak dimana disebut sebagai evolusi universal. Perkembangan masyarakat dan kebudayaan di dunia hampir sama, yang membedakan hanyalah tingkatan evolusi tiap sub-sub bagian masyarakat.

Menurut H. Spencer tingkat evolusi yang lebih kompleks dan berdiferensiasi dalam bentuk religi yaitu penyembahan terhadap dewa-dewa[1]. Dewa-dewa yang menjadi pusat orientasi dan penyembahan manusia dalam tingkat evolusi religi memiliki ciri yang khas dalam pandangan umatnya, karena tercantum dalam mitologi yang tercantum dalam bentuk tulisan. Namun walaupun religi dari semua bangsa di dunia pada garis besar evolusi universal akan berkembang dari tingkat penyembahan roh nenek moyang ketingkat penyembahan dewa-dewa.

2. E.B. Tylor

Ahli arkeolog dari Inggris bernama E.B. Tylor menganut cara berpikir evolusionisme. Beliau berpendapat bahwa asal mula religi adalah adanya kesadaran manusia akan adanya jiwa yang disebabkan oleh dua hal yaitu perbedaan yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dengan hal-hal yang mati, dan peristiwa mimpi[2]. Pada saat tidur atau pikiran melayang hubungan jiwa dan raga akan tetap ada. Tetapi jika manusia mati hubungan jiwa dan raga akan terputus. Jiwa yang terputus dari raga akan bebas mengisi alam yang akan menjadi makhluk halus yang akan hidup berdampingan dengan manusia, ditempatkan pada posisi yang penting yaitu dijadikan obyek penghormatan dan penyembahan. E.B Tylor juga berpendirian bahwa bentuk religi paling tua adalah penyembahan kepada roh-roh yang merupakan personifikasi dari jiwa-jiwa orang-orang yang telah meninggal, terutama nenek moyangnya. Penyembahan terhadap makhluk halus menurut E.B Tylor disebut sebagai animisme yang pada akhirnya merupakan bentuk religi tertua. Makhluk halus penghuni alam sering disebut sebagai Dewa. Semua Dewa pada hakekatnya merupakan penjelmaan dari satu dewa yang tertinggi. Dewa memiliki tingkatan dan tingkat tertinggi para dewa menurut keyakinan terhadap satu Dewa atau Tuhan dan akan timbul religi yang bersifat monotheisme sebagai tingkat yang terakhir dalam evolusi religi manusia.

Teori yang lain tentang kebudayaan, E.B Tylor beranggapan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.

3. J.G. Frazer

James Frazer adalah murid Tylor, telah menulis The Golden Bough (1890) yang isinya adalah perbandingan yang sangat luas tentang agama dan ritus, serta berbagai bentuk penelitian etnografis yang rinci dan sangat penting. Usaha utama Frazer dalam teorinya bertujuan membuktikan bagaimana pemikiran manusia itu berkembang, mula-mula dari tahap magis, kemudian ke tahap keagamaan, dan seterusnya ke tahap sains.

Teori Frazer mengenai asal mula ilmu gaib dan religi yaitu manusia memecahkan soal-soal hidupnya dengan akal dan sistem pengetahuannya. Namun sistem pengetahuan manusia terbatas[3]. Teori Frazer dikenal dengan teori batas akal. Menurut Frazer manusia memecahkan masalah-masalah hidupnya dengan akal dan sistem pengetahuannya. Tetapi akal dan sistem pengetahuan itu ada batasnya, makin maju kebudayaan manusia makin luar biasa akal itu, tetapi dalam banyak kebudayaan batas akal manusia masih sangat sempit[4]. Masalah hidup yang tidak bisa dipisahkan dengan akal dan pengetahuan akan dipecahkan secara magic dan ilmu gaib. Sesuai perkembangan magis dan ilmu gaib tidak semuanya bisa memecahkan masalah hidup manusia sehingga lahirlah religi. Magis adalah segala sistem dan perbuatan dan sikap manusia untuk mencapai suatu maksud dengan menguasai dan mempergunakan kekuatan-kekuatan dan hukum-hukum gaib yang ada didalam alam. Religi adalah segala sistem perbuatan manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyandarkan diri kepada keamanan dan kekuasaan dari makhluk-makhluk halus seperti roh-roh dan dewa-dewa[5]. Magic dan religi harus dibedakan dalam kehidupan sehari-hari manusia.

B. Teori Azas Religi

1. Andrew Lang

Teori Lang adalah teori tentang dewa tertinggi. Dalam teorinya Lang menyatakan bahwa dalam jiwa manusia ada kemampuan gaib yang bisa bekerja lebih kuat dengan makin lemahnya aktivitas pikiran manusia yang rasional[6]. Kemampuan gaib pada manusia zaman dahulu menyebabkan timbulnya konsep jiwa dan bukan analisis rasional yang menghubungkan jiwa dengan bayangan tentang diri manusia sendiri yang tampak dalam mimpi.

Dalam dongeng mitologi, Lang menemukan tokoh dewa yang dianggap sebagai dewa tertinggi pencipta dan penguasa seluruh alam dan isinya. Keyakinan terhadap dewa tertinggi merupakan bentuk religi manusia yang tertua, kemudian terdesak kebelakang oleh keyakinan kepada makhluk halus lain seperti dewa-dewa alam, roh nenek moyang dan hantu.

2. R.R. Marett

Teori Marret adalah teori tentang kekuatan luar biasa. Marret mengembangkan dari teori bahwa bentuk religi yang paling tertua adalah keyakinan manusia akan adanya kekuatan gaib dalam hal yang luar biasa dan menjadi sebab timbulnya gejala yang tak dapat dilakukan manusia biasa.

Teori Marret tentang asal mula religi yaitu suatu emosi atau suatu getaran jiwa yang timbul karena kekaguman manusia terhadap hal-hal yang luar biasa. Keyakinan dan emosi keagamaan yang timbul karena keyakinan serta segala sesuatu tentang upacara sebagai akibat selanjutnya adalah bentuk tertua dari religi. Bentuk religi semacam itu dianggap lebih tua dari religi Animisme yang disebut sebagai praeanimism[7].

Proses berpikir yang mengasosiasikan suatu kekuatan yang menyebabkan bahwa makhluk hidup itu dapat bergerak dengan bayangan yang ada pada dirinya sendiri di dalam mimpi adalah terlalu abstrak bagi manusia purba yang pikirannya terbatas.

3. A.C. Kruyt

Teori Kruyt adalah teori tentang Animisme dan Spiritisme. Menurut Kruyt manusia primitif atau manusia zaman kuno pada umumnya yakin akan adanya suatu zat halus (zielestof) yang memberi kekuatan hidup dan gerak kepada banyak hal di dalam alam semesta, Zielestof dianggap ada dalam diri manusia, hewan dan tumbuhan[8]. Maka timbul keyakinan bahwa zielestof dapat berpindah dari medium satu ke medium yang lain. Dengan demikian keyakinan terhadap perpindahan jiwa atau inkarnasi merupakan bagian dari animisme. Sistem keyakinan akan adanya makhluk halus yang hidup berdampingan dengan manusia Kruyt menyebutnya sebagai spiritisme.

Menurut Kruyt hubungan antara Animisme dan Spiritisme mula-mula sewaktu manusia masih hidup dalam masyarakat yang bersifat communistisch (masyarakat yang mementingkan masyarakat diatas kepentingan individu) maka religi manusia yang pokok adalah keyakinan akan adanya suatu zat halus yang umum yaitu Zielestof.

4. R. Otto

Teori R. Otto adalah teori tentang sikap kagum terpesona terhadap hal yang gaib. Menurut Otto semua sistem religi kepercayaan dan agama di dunia berpusat pada suatu konsep tentang hal yang gaib, yang dianggap maha dahsyat dan keramat oleh manusia. Sistem religi dan masyarakat bersahaja belum merupakan agama tetapi hanya suatu tahap pendahuluan dari agama yang sedang berkembang[9].

5. W. Robertson Smith

Teori W.R Smith adalah teori tentang upacara bersaji. Menurut Smith gagasan penting dalam asas-asas religi dan agama pada umumnya ada tiga hal yaitu:

a. Disamping keyakinan dan doktrin sistem upacara dan doktrin, sistem upacara yang juga merupakan suatu perwujudan dari religi atau agama yang memerlukan studi dan analisa yang khusus.

b. Upacara religi atau agama biasanya dilaksanakan oleh orang atau masyarakat pemeluk religi atau agama yang biasanya dilaksanakan oleh orang banyak warga masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan bersama sama memiliki fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat.

c. Teori fungsi upacara sesaji.

6. Preusz

Teori Preusz adalah teori mengenai azas-azas religi. Preusz menguraikan konsep pertama yaitu konsep yang bahwa mengangap religi yang tertua berupa tindakan manusia untuk mengadakan keperluan-keperluan hidupnya yang tak dapat dicapainya secara naluri atau dengan akalnya. Konsepsi Preusz yang kedua adalah pusat dari sistem religi dan kepercayaan didunia adalah ritus dan upacara dan memulai kekuatan kekuatan yang diangapnya berperan dalam tindakan gaib seperti itu manusia mengira dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya serta mencapai tujuan hidupnya.

7. Van Gennep

Teori Van Gennep adalah teori mengenai ritus peralihan dan upacara pengukuhan. Van Gennep menganalisa ritus peralihan pada umumnya berdasarkan data Etnografi dari seluruh dunia. Menurut Van Gennep ritus dan upacara religi secara universal asasnya berfungsi sebagai aktifitas untuk menimbulkan kembali semangat kehidupan sosial antar warga masyarakat. Van Gennep menyatakan bahwa semua ritus dan upacara dapat di bagi menjadi tiga bagian antara lain :

a. Ritus bagian dari separation manusia melepaskan kedudukannya yang semula.

b. Ritus bagian dari marge manusia yang dianggap mati dan dalam keadaan seperti tak tergolong dalam lingkungan manapun.

c. Ritus bagian dari aggregation mereka diresmikan kedalam tahap tahap kehidupanya serta lingkungan sosialnya yang baru. Van Gennep juga menyatakan dengan khusus bahwa tidak semua bagian dari ritus atau upacara sama pentingnya dalam semua upacara yang merayakan pergantian musim, upacara pertanian atau ritus sepanjang lingkungan hidupnya.

8. Soderblom

Teori Soderblom adalah mengenai asas dan perkembangan religi. Soderblom menggabungkan semua bentuk keyakinan menjadi suatu rangkaian evolusi. Dimana keyakinan akan berbagai macam dewa sudah pasti terbentuk melalui mitologi, maka timbul kesadaran akan tokoh dewa yang menjadi penyebab dari segala adat istiadat dan kepandaian manusia. Soderblom juga berkonsep bahwa emosi keagamaan adalah sikap takut bercampur percaya terhadap hal yang gaib dan keramat.

C. Teori Fungsional Struktural

1. Brownislaw Malinowski

B. Malinowski dilahirkan di Polandia, pada tahun 1910 pindah ke Inggris.. B. Malinowski menganalisa mengenai mitologi atau himpunan dongeng-dongeng suci dalam masyarakat tidak hanya dalam naskah atau teks-teks terpisah dari hubungan sosialnya[10]. Metode ini merupakan hal yang istimewa karena berbeda dengan tokoh-tokoh lain yang pernah meneliti tentang mitologi.

B. Malinowski mengembangkan teori tentang fungsi unsur-unsur kebudayaan yang sangat kompleks dimana inti dari teori tersebut adalah pendirian bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Malinowski telah menekankan pentingnya penelitian hubungan antara beraspek sosial dalam masyarakat, dan seterusnya berpendapat bahwa kerja lapangan yang memakan waktu lama adalah sesuatu yang sangat penting.

Malinowski memberi tiga tingkat kebutuhan yang fundamental harus ada dalam kebudayaan. Tiga tingkat itu antara lain : Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan biologis, Kebudayaan harus memenuhi kebudayaan Instrumental (kebutuhan akan hukum dan pendidikan), Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan Integratif (agama dan kesenian)[11].

2. A.R. Radcliffe-Brown

A.R. Radcliffe Brown ahli Antropolog dari Inggris, pendiri aliran struktural fungsionalis. A.R. Radcliffe Brown berpendapat bahwa setiap kebiasaan dan kepercayaan dalam masyarakat mempunyai fungsi tertentu untuk melestarikan struktur masyarakat yang bersangkutan, susunan bagian-bagian yang teratur sehingga masyarakat tersebut bisa tetap lestari[12]. Konsepsi Radcliffe Brown mengenai fungsi sosial tidak jauh berbeda dengan B. Malinowski yaitu pengaruh dan efek suatu upacara keagamaan atau suatu dongeng mitologi terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara integrasi dari suatu sistem sosial tertentu.

Radcliffe Brown juga menyatakan bahwa struktur sosial itu ada dan dapat dianalisa pada segala macam masyarakat baik yang bersahaja maupun yang kompleks. Adanya sistem kekerabatan unilear dan upacara agama beserta mitologinya.

D. Hubungan Antara Teori Antropologi

Bermacam-macam teori tentang asal mula dan inti dari religi antara satu dengan yang lain berbeda dan bahkan ada yang bertentangan. Pertentangan teori terjadi karena para Antropolog memandang dan memahami hanya dari satu sudut pandang aspek religi. Padahal unsur kebudayaan yang disebut religi sangat kmpleks dan berkembang dari berbagai tempat di dunia. Misalnya saja R.R Marret tidak setuju dengan teori E.B Tylor tentang timbulnya kesadaran manusia terhadap jiwa karena Marret beranggapan bahwa kesadaran manusia terhadap jiwa terlalu kompleks bagi pikiran manusia yang baru ada pada tingkat permulaan daripada kehidupannya di muka bumi. Anggapan yang terbaru Marret bahwa pangkal dari segala kelakuan keagamaan ditimbulkan karena perasaan yang rendah terhadap gejala dan peristiwa yang dianggap biasa didalam kehidupan manusia, anggapan ini juga bertentangan dengan teori E.B Tylor mengenai Animisme.

Teori-teori yang dicetuskan oleh beberapa ahli Antropologi diatas dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: Pertama, teori yang pendekatannya berorientasi pada keyakinan religi, tokohnya A. Lang R.R Marret dan A.C Kruyt. Kedua, teori yang pendekatannya berorientasi pada upacara religi tokohnya W. Robertson Smith, A. Van Gennep, Preusz. Dan teori yang pendekatannya pada sikap manusia terhadap alam gaib tokohnya yaitu R.Otto. teori yang menkombinasikan ketiga pendekatan yaitu Soderblom.

Teori religi awal yaitu tentang keyakinan terhadap dewa tertinggi. Dalam temuan Andre Lang, dewa tersebut memiliki peranan dalam hidup manusia, yaitu sebagai penjaga ketertiban alam dan kesusilaan. Keyakinan semacam ini muncul, terutama pada masyarakat yang masih rendah tingkat budayanya. Keyakinan demikian dalam pandangan Tylor dan Frazer sebagai “kepercayaan kepada makhluk spiritual”. Makhluk spiritual tersebut, menurut dia dapat berupa roh yang memiliki kekuatan. Hal ini sering dinamakan animisme, yang berasal dari bahasa Latin anima artinya roh. Keyakinan kepada roh sebenarnya merupakan bentuk religi yang cukup tua. Keyakinan demikian tak berarti menyembah kepada kekuatan benda­wi, melainkan kepada anima. Anima, bagi orang primitif memiliki makna khusus.

Komponen Sistem Religi

Berbagai teori azas dan asal mula religi yang dikembangkan oleh berbagai ahli masing-masing dengan metode pendekatan yang berbeda, dapat dihubungkan menjadi sekelompok komponen religi. Lima komponen tersebut memiliki peran sendiri-sendiri tetapi memiliki sistem kesatuan yang sangat erat. Keyakinan, ritus dan upacara, peralatan riuts dan upacara, umat beragama berkaitan erat dan saling mempengaruhi sampai bertemu di satu titik komponen utama yaitu emosi keagamaan.

Selanjutnya, teori religi tentang dewa tersebut berkembang menjadi kepercayaan terhadap kekuatan gaib yang disebut mana. Mana adalah pancaran roh dan dewa kepada manusia yang selalu berhasil dalam pekerjaannya. Konsep mana ini, kemungkinan selaras dengan konteks wahyu atau pulung dalam kebudayaan Jawa. Dalam pandangan Kruyt, mana tidak jauh beda dengan zielestof, yaitu zat halus yang memberi kekuatan hidup manusia dan alam semesta.

Implikasi dari zat ini dapat merasuk ke dalam diri manusia dan makhluk lain sehingga memiliki kekuatan tertentu. Di samping zielestof, di sekitar manusia juga dipercaya bahwa ada kekuatan makhluk halus yang disebut spirit. Makhluk ini akan menempati sekeliling manusia, menjadi penjaga bangunan, pohon, benda, dan sebagainya. Hal ini akan menyebabkan tempat-tempat tertentu menjadi keramat (sacer). Itulah sebabnya, manusia sering melakukan ritual religi atau tradisi untuk menegosiasi agar kekuatan halus tadi tidak mengganggu hidupnya. Ritual termaksud yang dikenal dengan sebutan selamatan.

Kedua orang antropologis modern yaitu Malinowski dan Radcliffe-Brown, pernah memperlihatkan sikap kurang senang kaedah persejarahan budaya.

Daftar Pustaka

Hassan, Fuad, Renungan Budaya, Jakarta, Balai Pustaka, 1992

Haviland, William A. Antropologi Jilid 1, Erlangga, Jakarta, 1999.

Kaplan, David, Teori Budaya, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999

Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Dian Rakjat, 1967

______, SejarahTeori Antropologi 1, Jakarta, Universitas Indonesia, 1987

______,Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta, Aksara Baru, 1981

MAPPING THEORY ANTROPOLOGI

Oleh: Nova Kristiana Pengkajian Seni Diskomvis

Revisi Tugas #1 Antropologi

PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA 2009



[1] Koentjaraningrat, SejarahTeori Antropologi 1, Jakarta, Universitas Indonesia, 1987, p. 35

[2] Ibid, p. 48

[3] Ibid,p.54

[4] Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Dian Rakjat, 1967, p.210

[5] Ibid, p. 211

[6] Koentjaraningrat, SejarahTeori Antropologi 1,op cit, p. 59

[7] Ibid, p. 62

[8] Ibid, p. 63

[9] Ibid, p. 66

[10] Ibid, p.169

[11] William A. Haviland, Antropologi Jilid 1, Jakarta, Erlangga, 2007, p.344

[12] Ibid, p.332

Tidak ada komentar: